Setiap daerah tentu mempunyai tradisi dan seni ( tari ) yang berbeda satu sama lainnnya, meskipun masih saling terkait dalam kisah secara keseluruhan. Tari Topeng Malang¹, kisahnya ada kaitannya dengan kisah percintaan legendaris antara Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji dari Kediri.
Polemik Asal-usul Seni Tari Bantengan.
Di Malang, selain Tari Topeng juga berkembang seni Tari Bantengan. Kesenian ini berkembang pesat sejak tahun 1960an ketika jaman Orde Lama. Setiap perayaan atau pawai hari ulang tahun kemerdekaan negara kita senantiasa ditampilkan bersama dengan tari Liang Liong. Namun seiring kemunduran perekonomian setelah masa itu, seni Tari Bantengan mengalami kelesuhan. Lima belas tahun terakhir, seni Tari Bantengan mulai menggeliat kembali bahkan mulai menjamur. Hampir setiap kecamatan di wilayah Kabupaten dan Kota Malang, rata-rata ada 3 – 5 perkumpulan seni tari Bantengan. Terutama di sekitar Kecamatan Tumpang, Poncokusumo, serta Kota Batu.
Sejak 2003, Kota Batu yang telah menjadi Kota Mandiri, mengakui bahwa Seni Tari Bantengan merupakan seni tari tradisional yang berasal dari wilayah tersebut. Namun,pengakuan ini, rupanya mendapat ganjalan pengakuan dari wilayah Celaket yang ada di sekitar Pacet, kota Mojokerto². Celaket memang tak jauh dari Batu, hanya sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan melintasi lebatnya hutan Gunung Arjuna dan Gunung Welirang. Memang masih perlu penelitian lebih mendalam tentang asal-usul tari Bantengan ini. Apakah pengakuan Kota Batu atas seni Tari Bantengan karena adanya ‘sanggar tari dan tokoh’ yang berani mengembangkan dengan dana sendiri lalu berhak atas asal-usulnya?
Alasan ke dua, bahwa seni Tari Bantengan menceritakan kisah penaklukan seekor banteng yang kala itu masih ada di sekitar hutan antara Batu dan Celaket juga kurang tepat. Sulit mendapatkan literatur-literatur atau naskah-naskah ilmiah yang menunjukkan bahwa di sana pernah menjadi habitat banteng. Tentu saja kedua alasan ini menjadi polemik di antara masyarakat pecinta seni serta para seniman tari ini. Sebab sebelum pengakuan Kota Batu tersebut mencuat, seni Tari Bantengan tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Malang!
Bias dari kisah pewayangan?
Dalam Maha Barata dikisahkan, Sumbadra adik Kresna dilamar oleh dua ksatria. Pertama, Burisrawa satria sakti namun sedikit berangasan dan kurang sopan santun dari kelompok kiri atau Kurawa. Kedua, Arjuna satria sakti dan lemah lembut dari kelompok kanan atau Pandawa. Untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pasangan atau suaminya, Dewi Wara Sumbadra meminta syarat yang cukup berat. Pertama, kelak sang pengantin harus diarak dengan kereta kencana milik Batara Guru yang ada di khayangan. Kedua, pengiringnya harus ‘ wanara seta atau kera putih’ yakni Anoman, yang mustahil akan membantu Kurawa. Ketiga, di barisan depan kereta kencana harus diiringi ‘kebo danu’ sebanyak 100 ekor. Tentu saja hal ini sulit dipenuhi, sebab permintaan ini sebenarnya ‘akal bulus’ Kresna kakak Sumbadra yang menolak secara halus lamaran Burisrawa.
Gatotkaca yang diminta membantu Arjuna menemui Betara Guru dikhayangan lewat Puncak Mahameru untuk meminjam kereta kencana saat terbang melintas kawasan padang rumput atau kaldera Bromo berhasil menaklukkan 100 ekor kerbau ( banteng? ) pimpinan Kebo Danu ( kerbau bule ).
Pendapat ini, pernah muncul di antara seniman Tari Bantengan di sekitar Tumpang, Wajak, Wates, Poncokusumo, dan Ngadas. Pendapat atau argument ini dirasa penulis kurang tepat, dengan alasan wilayah Kaldera Bromo ( Desa Ngadas ) merupakan wilayah ‘kadewan’ ³ yang tidak mengenal kisah pewayangan.
Kesurupan dalam Permainan Bantengan.
Dalam pandangan masyarakat tradisional yang masih terpengaruh budaya animisme dan dinamisme pemberian sesaji sebelum mengadakan suatu upacara, pesta, dan pertunjukan senantiasa diadakan. Demikian juga sebelum diadakan pertunjukan Seni Bantengan. Pemberian sesaji ini dengan maksud agar para arwah leluhur ikut hadir dalam pesta tersebut. Sesaji ini merupakan ‘jamuan makan’ bagi mereka. Maka sesaji bukan bentuk ‘suap’ agar para mahluk halus tidak mengganggu para pemain atau permainan tersebut.
Sering kita menjumpai dalam permainan Seni Tari Bantengan mengalami kesurupan. Pengalaman penulis dalam melakukan permainan ini merasakan perbedaan antara kesurupan dengan seni yang lain. Penjiwaan akan tokoh banteng sepenuhnya akan memberi nuansa tersendiri dalam melakukan atraksi ini. Adanya pertunjukan spektakuler, misalnya pemain dicambuk tanpa menimbulkan rasa sakit dan luka karena ada teknik tertentu yang harus dikuasai. Tentu saja hal ini tak bisa disebutkan disini. Terlalu berbahaya dan perlu latihan khusus.
Beda dalam permainan jelangkung, nini thowok, jaran kepang, dan nyai puthut, kesurupan dirasa memang 'adanya' arwah masuk ke dalam permainan tersebut. Tentunya dengan 'doa dan mantra' tertentu yang hanya dikuasai tokoh tertentu.
0 komentar :
Posting Komentar